Breaking News
recent

24 Polwan Polres Blitar Mondok di Pesantren APIS Sanan Gondang

24 Polwan Polres Blitar Mondok di Pesantren APIS Sanan Gondang

Sanangondang.Com - Bagi polisi baru, digembleng fisiknya itu sudah biasa. Namun, jika disuruh nyantri di sebuah pesantren, itu baru luar biasa.

Itulah yang kini dilakukan AKBP Muji Ediyanto, Kapolres Blitar. Sebanyak 24 anggota polwannya yang baru berdinas di Polres Blitar, langsung dikirim ke Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam Salafiyah (PP APIS) di Dusun Sanan, Desa Gondang, Kecamatan Gandusari, Kabupaten Blitar.

Mereka sebulan penuh akan nyantri di pesantren dipimpin KH Imam Suhro Wardi itu.
"Setelah, fisiknya kuat sehabis kami gembleng, kini giliran menggembleng mentalnya, supaya jadi polisi yang berkarakter. Tujuannya kelak, mereka tak hanya kuat fisiknya, namun juga akhlaknya. Sebab, mereka itu nanti jadi pelindung masyarakat," kata Kapolres Blitar, AKBP Muji Ediyanto, Jumat (13/2/2015).

Beberapa hari tinggal di pesantren yang memiliki 500 santri putra dan putri itu, para polwan tak ada perlakuan khusus.

Mereka diperlakukan sama dengan santri beneran yang ada di pesantren itu. Seperti Jumat (13/2/2015) siang, sehabis melakukan kegiatan rutin, seperti mengaji, mereka memasak dan mencuci pakaian.

Setelahnya mereka harus membersihkan dapur sendiri, kemudian mencuci perabotan dapur, seperti panci dan piring, yang habis dipakainya.


Di sela-sela kesibukannya mengikuti kegiatan rutin pesantren, mereka juga dikenakan piket, seperti membersihkan lingkungan pesantren, mulai menyapu di masjid, sampai asrama.

"Lihat sendiri, mereka lagi bersih-bersih perabotan dapur. Di sini itu tak ada ketergantungan pada orang lain, semuanya harus dikerjakan sendiri. Itu untuk mendidik agar mereka jadi santri sejati, sehingga tak punya sikap sombong," papar Hj Nadiroh, istri KH Imam Suhro Wardi.

Tak terkecuali, soal belajar ilmu agama, mereka juga belajar bareng dengan santri lainnya di musala, yang berukuran 8x12 m2. Seperti Jumat pagi itu, mereka belajar membaca Alquran, yang diajarkan ustad Ahmad Muhajir.

"Mereka, kami ajari cara membaca Alquran yang benar (tartil). Satu per satu, mereka, kami suruh membaca. Memang, ada yang sudah lancar, namun ada yang belum bisa. Namun, kami usahakan, selama pesantren kilat ini, mereka bisa membaca dengan baik, terutama tajwidnya," tutur ustada Muhajir.

Selain diajari mengaji, mereka juga diwajibkan, salat berjemaah lima waktu. Itu untuk menanamkan kebersamaan. Tak ketinggalan juga, mereka dikenalkan beberapa kitab kuning, seperti kitab Tauhid (ketuhanan), kitab Risalatul Khaid (yang membahas masalah menstruasi), dan kita yang membahas soal akhlak.

"Usia mereka itu kan masih dini (20 tahunan), sehingga mereka harus ditanamkan soal akhlakhul karimah (moral yang baik). Kelak, jika sudah berdinas di tengah-tengah masyarakat, mereka bisa jadi panutan," papar Ny Nadiroh.

Rupanya, para santri polwan itu mengaku cukup beruntung dapat kesempatan tinggal di pesantren meski hanya sebentar. Mereka mengaku dapat banyak ilmu dan pengalaman, terutama soal hidup mandiri.


"Kami merasakan banyak manfaatnya. Selain mendidik kami jadi mandiri, juga ditanamkan rasa kebersamaan yang luar biasa. Kami seperti keluarga sendiri dengan para santri lainnya," aku Brigadir Agita Dwi Emi Liasari, yang ditemui sedang mencuci piring di dapur asrama.

Gadis asal Desa Olah Alen, Kecamatan Selorejo, Kabupaten Blitar ini mengaku banyak pelajaran yang didapat. Saat pendidikan di asrama polisi dulu juga dididik mandiri. Namun, di pesantren ini juga demikian. Ibaratnya saling melengkapi.

"Justru, di sini antarsantri itu tak menunjukkan rasa egonya, mereka sudah tahu tugas dan kewajibannya masing-masing, tanpa harus dipaksa. Kalau sudah gilirannya piket, mereka dengan ikhlas, langsung mengerjakan apa yang harus dikerjakan. Itu yang tak kami peroleh di tempat lain," paparnya.

Hal senada diungkapkan Brigadir Rita Anggraeni, gadis asal Desa/Kecamatan Kanigoro. Menurutnya, pengalaman di pesantren ini, salah satunya bisa menumbuhkan rasa kedewasaannya. Betapa tidak, mulai bangun tidur, sampai tidur kembali, semua pekerjaannya dilakukan sendiri, tanpa ada yang membantunya.

"Jika selama ini, kami sering ketergantungan pada orangtua kalau rumah, namun di sini ini, harus mandiri. Misalnya, kalau nggak mau mencuci pakaian sendiri, ya nggak pakai baju," tutur Anggaraeni yang lulusan sekolah polisi negara (SPN) Mojokerto tahun 2014 lalu.
Menurutnya, pokoknya banyak pengalaman yang didapat. Itu diakui para polwan lainnya.

Bahkan, ada kebiasaan di pesantren yang tak bisa dilupakan. Yakni, kebiasaan bangun malam. Semula, itu sangat berat karena lagi enak-enaknya tidur, kemudian dipaksa bangun, dan berwudlu, melakukan salat Tahajud berjemaah, sampai dilanjutkan wiridan, yang cukup lama.

"Kebiasaan bangun malam itu sangat membekas di hati kami yang paling dalam. Sebab, selama ini kami nggak pernah melakukan salat malam. Itu salat yang paling berat karena waktunya di saat orang lagi enak-enaknya tidur. Namun, di sini, semuanya terasa ringan. Semoga kebiasaan di pesantren ini, bisa kami terapkan nanti. Pokoknya banyak pelajaran baru bagi kami yang sangat berharga," ujar Agita.


Bahkan, kini bangun malam itu seperti jadi kewajiban teman-teman polwan. Malah, banyak dari mereka yang habis salat tahajud, tak kembali tidur melainkan dilanjutkan wiridan sampai masuk waktu salat Subuh.

Habis subuh pun, menurutnya, mereka tak tidur, melainkan belajar membaca Alquran, kemudian dilanjutkan ziarah bersama ke makam pendiri pesantren, alm KH Damanhuri, yang ada di kompleks pesantren.

"Baru setelah itu, kami, bersih-bersih lingkungan pesantren. Ada yang memasak bagi yang kena piket. Sehabis makan bersama, kami salat Duha berjamaah di musala," tuturnya.

Sehabis menuntaskan kegiatan di pesantren, sekitar 08.00 WIB, para polwan itu mengajar baris-berbaris terhadap siswa di sekolah pesantren tersebut. Mulai pelajar SD, MTS, dan SMP.

"Pokoknya, kami merasa enjoy tinggal di pesantren. Sekalian bisa belajar ilmu agama, kami juga bisa mengajarkan ilmu yang kami miliki. Seperti mengajar PBB. Kami dengan para santri di pesantren itu sudah seperti saudara sendiri. Bahkan, kalau tidur, kami kumpul, tidur di atas karpet. Itu yang tak akan bisa kami lupakan," paparnya.

Meski keberadaan para polwan itu hanya sebentar belajar di pesantren, namun hal itu cukup berkesan bagi para santri beneran.

"Kalau semua polisi bersikap seperti mereka, masyarakat pasti merasa aman dan nyaman. Sebab, kepedulian mereka terhadap orang lain cukup tinggi, dan tak menunjukkan rasa sombong," ujar Nurul (17), santri perempuan asal Desa/Kecamatan Selorejo.


Sumber: tribunnews.com

Unknown

Redaksi SananGondang.Com Menerima kiriman Artikel, Saran dan Kritik dari pembaca, kirim melalui email: apisblitar@gmail.com

Komentar Anda :
Diberdayakan oleh Blogger.